rumah dan hal-hal yang tak selesai

Tidak bisa dipungkiri tulisan ini terpicu dari obrolan yang muncul sehubungan dengan karya arsitek Andra Matin, yang baru saja menggelar pameran berisi karya-karya rumah tinggal. Pameran yang menurut saya pribadi berhasil memunculkan diskursus yang jauh lebih luas dari skala pamerannya itu sendiri. Berhasil menggugah pandangan kritis sekian orang yang bahkan belum berkesempatan menghadirinya.


Obrolan tersebut berlangsung dalam ruang maya, chat group sebuah aplikasi yang tersemat dalam ponsel beberapa anak muda. Berawal dengan kekaguman terhadap salah satu rumah tinggal yang memiliki banyak pohon palem di lahannya, dengan penyelesaian pengerjaan yang sangat baik –setidaknya itulah yang jelas dapat ditangkap di foto-foto yang dibagikan di media sosial- dan sangat mencerminkan karakter perancangnya. Kami yang menikmatinya dari jarak jauh berusaha merangkai per-bagian rumah dari foto yang dapat kami akses. Sebagian gambaran tentang rumah tersebut mulai muncul di benak, namun sebagian lainnya masih misteri karena saya yakin masih banyak sekali sudut-sudut menarik sebagai kepingan puzzle yang tidak dapat kami tangkap untuk mendapatkan gambaran utuh. Salah seorang kawan bernama Danny Wicaksono bahkan dengan lugas menuliskan dalam foto yang diunggah bahwa karya tersebut adalah salah satu arsitektur terbaik di Indonesia! Saya pribadi sama sekali tidak meragukan penilaiannya, karena seperti itulah kesan yang bisa saya tangkap. Yang saya yakin juga ditangkap oleh sekian banyak orang.


Yang menarik dari obrolan kami bukan pada pembahasan mengenai fisik bangunan rumah tinggal tersebut, namun pada dugaan-dugaan kami tentang bagaimana pemiliknya menghuni rumah tersebut. Pemantik dugaan ini mungkin dari beberapa foto yang memberi ilustrasi ruang dalam dari rumah tersebut. Sangat cantik sekali, dengan atmosfer ruang yang terbentuk akibat proporsi tertentu bertemu dengan penggunaan material tertentu. Sangat-sangat menunjukkan hasil kerja keras luar biasa dari perencana sampai dengan pelaksana. Dugaan yang kami munculkan ini mungkin bukan sebuah dugaan yang baru, dimana sering kita membayangkan seperti apa keseharian penghuni di dalam rumah dan ruang yang cantik tersebut. Bagaimana behavior mereka? Mengingat di rumah tinggal-lah sebenarnya akan terungkap kelakuan-kelakuan paling jujur dari diri seorang manusia. Dan bukan pada tipologi bangunan yang lain. Di rumah-lah manusia akan dengan sukarela membuka sekian banyak layer yang selama ini di-superimposisi-kan pada dirinya ketika mereka berada di luar rumah. Layaknya seorang ibu yang ketika berada di rumah merasa jauh lebih nyaman memakai daster tipis daripada sebuah gaun atau celana ketat.


Kami membayangkan selalu ada sekian kondisi yang memaksa penghuni akan melakukan rakayasa dalam proses berhuninya. Kami membayangkan bahwa rumah akan selalu pada posisi yang ‘tak selesai’, selalu akan menempati takdir sebagai bagian sebuah proses daripada menjadi sebagai sebuah hasil akhir. Ada sekian banyak hal yang tak selesai yang akan muncul dari kehadiran sebuah rumah. Hal sederhana semacam mengeringkan tangan setelah cuci piring tentu menuntut tersedianya lap yang biasanya akan nangkring indah di tembok dekat kitchen sink, dan yang paling laris dibeli adalah motif kotak-kotak. Kebutuhan menyediakan keset di beberapa bagian rumah, keinginan seorang anak menempel poster idolanya di dinding kamar, kebutuhan meletakkan baju yang baru dipakai sekali dan ingin digunakan lagi sore harinya, kebutuhan meletakkan sekian jenis peralatan mandi dan alat rias yang dibeli oleh sang ibu, kebimbangan apakah mau membuang beberapa barang bekas ataukah disimpan dulu untuk kemungkinan pemanfaatan, dan sekian banyak hal lain yang sangat lekat dengan keseharian. Saya pun membayangkan hal keseharian di atas dengan melihat sekeliling di kamar saya dan ruang lain di rumah saya. Tidak jauh berbeda dengan kondisi-kondisi tadi. Tentu saja seorang arsitek akan menyadari hal tersebut, dan oleh karenanya berusaha memahami betul bagaimana kebiasaan sang klien (dan keluarganya) sehingga paling tidak bisa menentukan keputusan desain seperti apa yang akan diambil. Namun semaksimal apapun usaha seorang arsitek dalam memahami keseharian klien dan juga pola berhuninya tetap akan ada sekian banyak hal yang tidak dapat dia antisipasi.


Dalam satu kesempatan acara Open House rumah tinggal karya seorang rekan di Surabaya, saya mengangkat topik diskusi “Rumah dan Kehadiran Seorang Arsitek”. Topik tersebut bermaksud mengkritisi kehadiran dan peran seorang arsitek dalam terwujudnya sebuah bangunan yang disebut rumah tinggal. Seseorang, dalam hidupnya akan selalu memiliki rekaman ingatan dan kenangan yang akan berpadu dengan harapannya ke depan. Katakanlah kita, tentunya memiliki bapak dan ibu yang selama sekian tahun bersama-sama dengan kita melakukan aktivitas menghuni dalam rumah tinggal semasa kita kecil sampai beranjak dewasa. Hal tersebut pasti membentuk kebiasaan dan pandangan kita tentang “berhuni”. Bapak dan ibu kita juga masing-masing memiliki bapak dan ibu, yang selama sekian tahun bersama-sama dengan mereka melakukan aktivitas menghuni dalam rumah tinggal mereka semasa kecil sampai beranjak dewasa. Kakek-nenek kita dan seterusnya pun mengalami hal yang sama. Jika ditarik kembali ke dalam diri kita, maka kita dapat menerka-nerka begitu kompleksnya ragam pola berhuni sampai dengan membentuk kita untuk juga memiliki cara dan pandangan tentang “berhuni”. Dan hal ini bertambah rumit ketika kita bertemu dengan pasangan hidup kita, yang memiliki rentetan yang sama mulai bapak-ibunya, kakek-neneknya, dan seterusnya. Dengan segala hal yang terekam dalam memori seorang klien, jika dia mau jujur, jangan-jangan gambaran tentang rumah tinggal yang cocok bagi dia itu sudah ada. Jelas sekali tergambar di benaknya. Tetapi kemudian hadirlah seorang arsitek yang dia harapkan bisa membantu mengungkap apa yang ada di benaknya, sehingga artikulasinya menjadi lebih jelas. Pertanyaannya, sampai sejauh mana yang bisa diungkap oleh seorang arsitek?


Kembali pada obrolan, dalam kasus seorang Andra Matin menjadi menarik karena dari sekian karya rumah tinggal, beberapa di antaranya mengundang pertanyaan “apa benar si klien menghuni rumah tersebut sehari-hari?”. Sebuah pertanyaan yang wajar muncul dari kami yang dengan segala keterbatasan informasi mencoba membaca sebuah kondisi. Dugaan bahwa rumah-rumah tersebut hanyalah rumah kesekian yang dimiliki oleh klien, dugaan bahwa klien tersebut jangan-jangan memang (hanya) ingin memiliki rumah yang didesain oleh arsitek kenamaan, banyak muncul di benak beberapa orang. Meskipun jika memang seperti itu, juga tetap merupakan hak setiap orang dalam mewujudkan rumah idamannya. Namun kembali lagi, pemahaman “berhuni” seperti apa yang akhirnya dapat ditangkap oleh arsitek ketika ternyata definisi “berhuni” pada sekian orang itu ternyata berbeda. Mereka bahkan tidak pernah mengalami ruang-ruang rumah tinggal itu dalam durasi waktu yang cukup lama. Mereka mungkin memang ingin ruang-ruang tersebut tidak terkontaminasi kebiasaan hidup mereka sehari-hari. Lalu bagaimana dengan esensi sebuah rumah tinggal?


Dalam berbagai diskusi mengenai ‘home’, sering kita akan lebih tepat memahaminya dengan tidak langsung mengasosiasikannya dengan sebuah bangunan melainkan sebuah kondisi. Seperti yang juga ditulis Avianti Armand dalam buku RUMAH, bahasa Indonesia memiliki padanan yang mendekati dalam dua kata yaitu betah (at home) dan pulang (go home). Dua kata yang tidak langsung memiliki hubungan dengan bangunan melainkan kondisi batin. Sebenarnya meskipun tidak berhubungan langsung dengan sebuah bangunan, dua kata tadi menurut saya memiliki keterkaitan dengan tempat. Yaitu tempat di mana seseorang akan betah, ataupun tempat yang dituju oleh seseorang dalam aktivitasnya pulang. Akan kembali menyempit jika tempat itu langsung kita yakini sebagai sebuah bangunan bernama rumah, karena sebenarnya tempat tadi bisa di mana saja ataupun berbentuk apa saja. Kita bisa melihat berbagai kondisi ketika banyak orang yang merasa lebih betah di kantor daripada di rumah. Ataupun orang yang merasa lupa dengan aktivitas pulang kecuali pada waktu mudik lebaran. Jika dua kondisi tadi dikaitkan dengan kata “berhuni”, mungkin dapat memperkaya pemahaman kita. Setiap manusia beragama pasti paham alasan diciptakannya manusia di Bumi oleh Tuhannya, yaitu sebagai pengatur apa-apa yang ada di Bumi. Manusia diciptakan untuk menghuni Bumi dengan segala isinya. Menghuni dalam arti yang luas, seperti tulisan Avianti, bukanlah aktivitas pasif. Satu hal yang jelas adalah manusia diharapkan tidak hanya berhuni di dalam bangunan bernama rumah. Setiap manusia akan memiliki skala dan radius yang berbeda terkait huniannya. Dan biasanya skala dan radius ini akan memiliki hubungan dengan tingkat manfaat seseorang itu kepada manusia lain dan juga lingkungannya, ataupun Bumi itu sendiri.


Kembali kepada kasus klien-klien Andra Matin, bisa jadi mereka ini lah contoh manusia-manusia yang melakukan aktivitas berhuninya tidak hanya dalam skala rumah tinggal. Mereka memang tidak hidup sehari-hari di rumah tinggal tersebut, karena mereka hidup di skala dan radius yang mungkin lebih besar dari kebanyakan orang. Dan ketika mereka berkesempatan mewujudkan sebuah kondisi ideal dari sebuah rumah tinggal, menjadi hal yang lumrah untuk berusaha mewujudkan yang diidamkan oleh mata mereka, oleh hati mereka, oleh batin mereka. Yang bisa jadi memang tidak akan mereka kontaminasi dengan hal-hal keseharian mereka. Jika definisi ‘pulang’ bagi mereka adalah aktivitas sekian jam di rumah tinggal indah tersebut di hari Sabtu atau Minggu, dan itu merupakan sebuah kemewahan bagi mereka, tentu bukanlah hal yang tepat kalau kita menilai mereka tidak melakukan sebuah aktivitas berhuni yang baik.


Hal menarik lainnya adalah ketika mencermati makna rumah bagi seorang Andra Matin. Baginya rumah adalah tempat kita pulang, tempat rileks, tempat ngumpet. Semacam tempat hideaway. Di sini kita bisa melihat keterhubungan yang jelas sekali antara pandangan arsitek dengan kondisi batin klien. Bisa jadi dengan pandangan itulah akhirnya sang arsitek benar-benar dapat menciptakan tempat rileks, tempat ngumpet, dan tempat hideaway yang paling ideal bagi kliennya. Tempat yang secara hal kasat mata mungkin membuat kita meragukan keseharian mereka bisa fit di dalamnya, namun justru mungkin tempat itulah selama ini yang diidamkan dan dibutuhkan oleh mereka,….sebagai tempat untuk pulang.

author
Defry Agatha Ardianta
date
04/2016

Rumah dan hal-hal yang tak selesai

Tidak bisa dipungkiri tulisan ini terpicu dari obrolan yang muncul sehubungan dengan karya arsitek Andra Matin, yang baru saja menggelar pameran berisi karya-karya rumah tinggal. Pameran yang menurut saya pribadi berhasil memunculkan diskursus yang jauh lebih luas dari skala pamerannya itu sendiri. Berhasil menggugah pandangan kritis sekian orang yang bahkan belum berkesempatan menghadirinya.


Obrolan tersebut berlangsung dalam ruang maya, chat group sebuah aplikasi yang tersemat dalam ponsel beberapa anak muda. Berawal dengan kekaguman terhadap salah satu rumah tinggal yang memiliki banyak pohon palem di lahannya, dengan penyelesaian pengerjaan yang sangat baik –setidaknya itulah yang jelas dapat ditangkap di foto-foto yang dibagikan di media sosial- dan sangat mencerminkan karakter perancangnya. Kami yang menikmatinya dari jarak jauh berusaha merangkai per-bagian rumah dari foto yang dapat kami akses. Sebagian gambaran tentang rumah tersebut mulai muncul di benak, namun sebagian lainnya masih misteri karena saya yakin masih banyak sekali sudut-sudut menarik sebagai kepingan puzzle yang tidak dapat kami tangkap untuk mendapatkan gambaran utuh. Salah seorang kawan bernama Danny Wicaksono bahkan dengan lugas menuliskan dalam foto yang diunggah bahwa karya tersebut adalah salah satu arsitektur terbaik di Indonesia! Saya pribadi sama sekali tidak meragukan penilaiannya, karena seperti itulah kesan yang bisa saya tangkap. Yang saya yakin juga ditangkap oleh sekian banyak orang.


Yang menarik dari obrolan kami bukan pada pembahasan mengenai fisik bangunan rumah tinggal tersebut, namun pada dugaan-dugaan kami tentang bagaimana pemiliknya menghuni rumah tersebut. Pemantik dugaan ini mungkin dari beberapa foto yang memberi ilustrasi ruang dalam dari rumah tersebut. Sangat cantik sekali, dengan atmosfer ruang yang terbentuk akibat proporsi tertentu bertemu dengan penggunaan material tertentu. Sangat-sangat menunjukkan hasil kerja keras luar biasa dari perencana sampai dengan pelaksana. Dugaan yang kami munculkan ini mungkin bukan sebuah dugaan yang baru, dimana sering kita membayangkan seperti apa keseharian penghuni di dalam rumah dan ruang yang cantik tersebut. Bagaimana behavior mereka? Mengingat di rumah tinggal-lah sebenarnya akan terungkap kelakuan-kelakuan paling jujur dari diri seorang manusia. Dan bukan pada tipologi bangunan yang lain. Di rumah-lah manusia akan dengan sukarela membuka sekian banyak layer yang selama ini di-superimposisi-kan pada dirinya ketika mereka berada di luar rumah. Layaknya seorang ibu yang ketika berada di rumah merasa jauh lebih nyaman memakai daster tipis daripada sebuah gaun atau celana ketat.


Kami membayangkan selalu ada sekian kondisi yang memaksa penghuni akan melakukan rakayasa dalam proses berhuninya. Kami membayangkan bahwa rumah akan selalu pada posisi yang ‘tak selesai’, selalu akan menempati takdir sebagai bagian sebuah proses daripada menjadi sebagai sebuah hasil akhir. Ada sekian banyak hal yang tak selesai yang akan muncul dari kehadiran sebuah rumah. Hal sederhana semacam mengeringkan tangan setelah cuci piring tentu menuntut tersedianya lap yang biasanya akan nangkring indah di tembok dekat kitchen sink, dan yang paling laris dibeli adalah motif kotak-kotak. Kebutuhan menyediakan keset di beberapa bagian rumah, keinginan seorang anak menempel poster idolanya di dinding kamar, kebutuhan meletakkan baju yang baru dipakai sekali dan ingin digunakan lagi sore harinya, kebutuhan meletakkan sekian jenis peralatan mandi dan alat rias yang dibeli oleh sang ibu, kebimbangan apakah mau membuang beberapa barang bekas ataukah disimpan dulu untuk kemungkinan pemanfaatan, dan sekian banyak hal lain yang sangat lekat dengan keseharian. Saya pun membayangkan hal keseharian di atas dengan melihat sekeliling di kamar saya dan ruang lain di rumah saya. Tidak jauh berbeda dengan kondisi-kondisi tadi. Tentu saja seorang arsitek akan menyadari hal tersebut, dan oleh karenanya berusaha memahami betul bagaimana kebiasaan sang klien (dan keluarganya) sehingga paling tidak bisa menentukan keputusan desain seperti apa yang akan diambil. Namun semaksimal apapun usaha seorang arsitek dalam memahami keseharian klien dan juga pola berhuninya tetap akan ada sekian banyak hal yang tidak dapat dia antisipasi.


Dalam satu kesempatan acara Open House rumah tinggal karya seorang rekan di Surabaya, saya mengangkat topik diskusi “Rumah dan Kehadiran Seorang Arsitek”. Topik tersebut bermaksud mengkritisi kehadiran dan peran seorang arsitek dalam terwujudnya sebuah bangunan yang disebut rumah tinggal. Seseorang, dalam hidupnya akan selalu memiliki rekaman ingatan dan kenangan yang akan berpadu dengan harapannya ke depan. Katakanlah kita, tentunya memiliki bapak dan ibu yang selama sekian tahun bersama-sama dengan kita melakukan aktivitas menghuni dalam rumah tinggal semasa kita kecil sampai beranjak dewasa. Hal tersebut pasti membentuk kebiasaan dan pandangan kita tentang “berhuni”. Bapak dan ibu kita juga masing-masing memiliki bapak dan ibu, yang selama sekian tahun bersama-sama dengan mereka melakukan aktivitas menghuni dalam rumah tinggal mereka semasa kecil sampai beranjak dewasa. Kakek-nenek kita dan seterusnya pun mengalami hal yang sama. Jika ditarik kembali ke dalam diri kita, maka kita dapat menerka-nerka begitu kompleksnya ragam pola berhuni sampai dengan membentuk kita untuk juga memiliki cara dan pandangan tentang “berhuni”. Dan hal ini bertambah rumit ketika kita bertemu dengan pasangan hidup kita, yang memiliki rentetan yang sama mulai bapak-ibunya, kakek-neneknya, dan seterusnya. Dengan segala hal yang terekam dalam memori seorang klien, jika dia mau jujur, jangan-jangan gambaran tentang rumah tinggal yang cocok bagi dia itu sudah ada. Jelas sekali tergambar di benaknya. Tetapi kemudian hadirlah seorang arsitek yang dia harapkan bisa membantu mengungkap apa yang ada di benaknya, sehingga artikulasinya menjadi lebih jelas. Pertanyaannya, sampai sejauh mana yang bisa diungkap oleh seorang arsitek?


Kembali pada obrolan, dalam kasus seorang Andra Matin menjadi menarik karena dari sekian karya rumah tinggal, beberapa di antaranya mengundang pertanyaan “apa benar si klien menghuni rumah tersebut sehari-hari?”. Sebuah pertanyaan yang wajar muncul dari kami yang dengan segala keterbatasan informasi mencoba membaca sebuah kondisi. Dugaan bahwa rumah-rumah tersebut hanyalah rumah kesekian yang dimiliki oleh klien, dugaan bahwa klien tersebut jangan-jangan memang (hanya) ingin memiliki rumah yang didesain oleh arsitek kenamaan, banyak muncul di benak beberapa orang. Meskipun jika memang seperti itu, juga tetap merupakan hak setiap orang dalam mewujudkan rumah idamannya. Namun kembali lagi, pemahaman “berhuni” seperti apa yang akhirnya dapat ditangkap oleh arsitek ketika ternyata definisi “berhuni” pada sekian orang itu ternyata berbeda. Mereka bahkan tidak pernah mengalami ruang-ruang rumah tinggal itu dalam durasi waktu yang cukup lama. Mereka mungkin memang ingin ruang-ruang tersebut tidak terkontaminasi kebiasaan hidup mereka sehari-hari. Lalu bagaimana dengan esensi sebuah rumah tinggal?


Dalam berbagai diskusi mengenai ‘home’, sering kita akan lebih tepat memahaminya dengan tidak langsung mengasosiasikannya dengan sebuah bangunan melainkan sebuah kondisi. Seperti yang juga ditulis Avianti Armand dalam buku RUMAH, bahasa Indonesia memiliki padanan yang mendekati dalam dua kata yaitu betah (at home) dan pulang (go home). Dua kata yang tidak langsung memiliki hubungan dengan bangunan melainkan kondisi batin. Sebenarnya meskipun tidak berhubungan langsung dengan sebuah bangunan, dua kata tadi menurut saya memiliki keterkaitan dengan tempat. Yaitu tempat di mana seseorang akan betah, ataupun tempat yang dituju oleh seseorang dalam aktivitasnya pulang. Akan kembali menyempit jika tempat itu langsung kita yakini sebagai sebuah bangunan bernama rumah, karena sebenarnya tempat tadi bisa di mana saja ataupun berbentuk apa saja. Kita bisa melihat berbagai kondisi ketika banyak orang yang merasa lebih betah di kantor daripada di rumah. Ataupun orang yang merasa lupa dengan aktivitas pulang kecuali pada waktu mudik lebaran. Jika dua kondisi tadi dikaitkan dengan kata “berhuni”, mungkin dapat memperkaya pemahaman kita. Setiap manusia beragama pasti paham alasan diciptakannya manusia di Bumi oleh Tuhannya, yaitu sebagai pengatur apa-apa yang ada di Bumi. Manusia diciptakan untuk menghuni Bumi dengan segala isinya. Menghuni dalam arti yang luas, seperti tulisan Avianti, bukanlah aktivitas pasif. Satu hal yang jelas adalah manusia diharapkan tidak hanya berhuni di dalam bangunan bernama rumah. Setiap manusia akan memiliki skala dan radius yang berbeda terkait huniannya. Dan biasanya skala dan radius ini akan memiliki hubungan dengan tingkat manfaat seseorang itu kepada manusia lain dan juga lingkungannya, ataupun Bumi itu sendiri.


Kembali kepada kasus klien-klien Andra Matin, bisa jadi mereka ini lah contoh manusia-manusia yang melakukan aktivitas berhuninya tidak hanya dalam skala rumah tinggal. Mereka memang tidak hidup sehari-hari di rumah tinggal tersebut, karena mereka hidup di skala dan radius yang mungkin lebih besar dari kebanyakan orang. Dan ketika mereka berkesempatan mewujudkan sebuah kondisi ideal dari sebuah rumah tinggal, menjadi hal yang lumrah untuk berusaha mewujudkan yang diidamkan oleh mata mereka, oleh hati mereka, oleh batin mereka. Yang bisa jadi memang tidak akan mereka kontaminasi dengan hal-hal keseharian mereka. Jika definisi ‘pulang’ bagi mereka adalah aktivitas sekian jam di rumah tinggal indah tersebut di hari Sabtu atau Minggu, dan itu merupakan sebuah kemewahan bagi mereka, tentu bukanlah hal yang tepat kalau kita menilai mereka tidak melakukan sebuah aktivitas berhuni yang baik.


Hal menarik lainnya adalah ketika mencermati makna rumah bagi seorang Andra Matin. Baginya rumah adalah tempat kita pulang, tempat rileks, tempat ngumpet. Semacam tempat hideaway. Di sini kita bisa melihat keterhubungan yang jelas sekali antara pandangan arsitek dengan kondisi batin klien. Bisa jadi dengan pandangan itulah akhirnya sang arsitek benar-benar dapat menciptakan tempat rileks, tempat ngumpet, dan tempat hideaway yang paling ideal bagi kliennya. Tempat yang secara hal kasat mata mungkin membuat kita meragukan keseharian mereka bisa fit di dalamnya, namun justru mungkin tempat itulah selama ini yang diidamkan dan dibutuhkan oleh mereka,….sebagai tempat untuk pulang.

author

Defry Agatha Ardianta

date

04/2016

rumah dan hal-hal yang tak selesai

Tidak bisa dipungkiri tulisan ini terpicu dari obrolan yang muncul sehubungan dengan karya arsitek Andra Matin, yang baru saja menggelar pameran berisi karya-karya rumah tinggal. Pameran yang menurut saya pribadi berhasil memunculkan diskursus yang jauh lebih luas dari skala pamerannya itu sendiri. Berhasil menggugah pandangan kritis sekian orang yang bahkan belum berkesempatan menghadirinya.


Obrolan tersebut berlangsung dalam ruang maya, chat group sebuah aplikasi yang tersemat dalam ponsel beberapa anak muda. Berawal dengan kekaguman terhadap salah satu rumah tinggal yang memiliki banyak pohon palem di lahannya, dengan penyelesaian pengerjaan yang sangat baik –setidaknya itulah yang jelas dapat ditangkap di foto-foto yang dibagikan di media sosial- dan sangat mencerminkan karakter perancangnya. Kami yang menikmatinya dari jarak jauh berusaha merangkai per-bagian rumah dari foto yang dapat kami akses. Sebagian gambaran tentang rumah tersebut mulai muncul di benak, namun sebagian lainnya masih misteri karena saya yakin masih banyak sekali sudut-sudut menarik sebagai kepingan puzzle yang tidak dapat kami tangkap untuk mendapatkan gambaran utuh. Salah seorang kawan bernama Danny Wicaksono bahkan dengan lugas menuliskan dalam foto yang diunggah bahwa karya tersebut adalah salah satu arsitektur terbaik di Indonesia! Saya pribadi sama sekali tidak meragukan penilaiannya, karena seperti itulah kesan yang bisa saya tangkap. Yang saya yakin juga ditangkap oleh sekian banyak orang.


Yang menarik dari obrolan kami bukan pada pembahasan mengenai fisik bangunan rumah tinggal tersebut, namun pada dugaan-dugaan kami tentang bagaimana pemiliknya menghuni rumah tersebut. Pemantik dugaan ini mungkin dari beberapa foto yang memberi ilustrasi ruang dalam dari rumah tersebut. Sangat cantik sekali, dengan atmosfer ruang yang terbentuk akibat proporsi tertentu bertemu dengan penggunaan material tertentu. Sangat-sangat menunjukkan hasil kerja keras luar biasa dari perencana sampai dengan pelaksana. Dugaan yang kami munculkan ini mungkin bukan sebuah dugaan yang baru, dimana sering kita membayangkan seperti apa keseharian penghuni di dalam rumah dan ruang yang cantik tersebut. Bagaimana behavior mereka? Mengingat di rumah tinggal-lah sebenarnya akan terungkap kelakuan-kelakuan paling jujur dari diri seorang manusia. Dan bukan pada tipologi bangunan yang lain. Di rumah-lah manusia akan dengan sukarela membuka sekian banyak layer yang selama ini di-superimposisi-kan pada dirinya ketika mereka berada di luar rumah. Layaknya seorang ibu yang ketika berada di rumah merasa jauh lebih nyaman memakai daster tipis daripada sebuah gaun atau celana ketat.


Kami membayangkan selalu ada sekian kondisi yang memaksa penghuni akan melakukan rakayasa dalam proses berhuninya. Kami membayangkan bahwa rumah akan selalu pada posisi yang ‘tak selesai’, selalu akan menempati takdir sebagai bagian sebuah proses daripada menjadi sebagai sebuah hasil akhir. Ada sekian banyak hal yang tak selesai yang akan muncul dari kehadiran sebuah rumah. Hal sederhana semacam mengeringkan tangan setelah cuci piring tentu menuntut tersedianya lap yang biasanya akan nangkring indah di tembok dekat kitchen sink, dan yang paling laris dibeli adalah motif kotak-kotak. Kebutuhan menyediakan keset di beberapa bagian rumah, keinginan seorang anak menempel poster idolanya di dinding kamar, kebutuhan meletakkan baju yang baru dipakai sekali dan ingin digunakan lagi sore harinya, kebutuhan meletakkan sekian jenis peralatan mandi dan alat rias yang dibeli oleh sang ibu, kebimbangan apakah mau membuang beberapa barang bekas ataukah disimpan dulu untuk kemungkinan pemanfaatan, dan sekian banyak hal lain yang sangat lekat dengan keseharian. Saya pun membayangkan hal keseharian di atas dengan melihat sekeliling di kamar saya dan ruang lain di rumah saya. Tidak jauh berbeda dengan kondisi-kondisi tadi. Tentu saja seorang arsitek akan menyadari hal tersebut, dan oleh karenanya berusaha memahami betul bagaimana kebiasaan sang klien (dan keluarganya) sehingga paling tidak bisa menentukan keputusan desain seperti apa yang akan diambil. Namun semaksimal apapun usaha seorang arsitek dalam memahami keseharian klien dan juga pola berhuninya tetap akan ada sekian banyak hal yang tidak dapat dia antisipasi.


Dalam satu kesempatan acara Open House rumah tinggal karya seorang rekan di Surabaya, saya mengangkat topik diskusi “Rumah dan Kehadiran Seorang Arsitek”. Topik tersebut bermaksud mengkritisi kehadiran dan peran seorang arsitek dalam terwujudnya sebuah bangunan yang disebut rumah tinggal. Seseorang, dalam hidupnya akan selalu memiliki rekaman ingatan dan kenangan yang akan berpadu dengan harapannya ke depan. Katakanlah kita, tentunya memiliki bapak dan ibu yang selama sekian tahun bersama-sama dengan kita melakukan aktivitas menghuni dalam rumah tinggal semasa kita kecil sampai beranjak dewasa. Hal tersebut pasti membentuk kebiasaan dan pandangan kita tentang “berhuni”. Bapak dan ibu kita juga masing-masing memiliki bapak dan ibu, yang selama sekian tahun bersama-sama dengan mereka melakukan aktivitas menghuni dalam rumah tinggal mereka semasa kecil sampai beranjak dewasa. Kakek-nenek kita dan seterusnya pun mengalami hal yang sama. Jika ditarik kembali ke dalam diri kita, maka kita dapat menerka-nerka begitu kompleksnya ragam pola berhuni sampai dengan membentuk kita untuk juga memiliki cara dan pandangan tentang “berhuni”. Dan hal ini bertambah rumit ketika kita bertemu dengan pasangan hidup kita, yang memiliki rentetan yang sama mulai bapak-ibunya, kakek-neneknya, dan seterusnya. Dengan segala hal yang terekam dalam memori seorang klien, jika dia mau jujur, jangan-jangan gambaran tentang rumah tinggal yang cocok bagi dia itu sudah ada. Jelas sekali tergambar di benaknya. Tetapi kemudian hadirlah seorang arsitek yang dia harapkan bisa membantu mengungkap apa yang ada di benaknya, sehingga artikulasinya menjadi lebih jelas. Pertanyaannya, sampai sejauh mana yang bisa diungkap oleh seorang arsitek?


Kembali pada obrolan, dalam kasus seorang Andra Matin menjadi menarik karena dari sekian karya rumah tinggal, beberapa di antaranya mengundang pertanyaan “apa benar si klien menghuni rumah tersebut sehari-hari?”. Sebuah pertanyaan yang wajar muncul dari kami yang dengan segala keterbatasan informasi mencoba membaca sebuah kondisi. Dugaan bahwa rumah-rumah tersebut hanyalah rumah kesekian yang dimiliki oleh klien, dugaan bahwa klien tersebut jangan-jangan memang (hanya) ingin memiliki rumah yang didesain oleh arsitek kenamaan, banyak muncul di benak beberapa orang. Meskipun jika memang seperti itu, juga tetap merupakan hak setiap orang dalam mewujudkan rumah idamannya. Namun kembali lagi, pemahaman “berhuni” seperti apa yang akhirnya dapat ditangkap oleh arsitek ketika ternyata definisi “berhuni” pada sekian orang itu ternyata berbeda. Mereka bahkan tidak pernah mengalami ruang-ruang rumah tinggal itu dalam durasi waktu yang cukup lama. Mereka mungkin memang ingin ruang-ruang tersebut tidak terkontaminasi kebiasaan hidup mereka sehari-hari. Lalu bagaimana dengan esensi sebuah rumah tinggal?


Dalam berbagai diskusi mengenai ‘home’, sering kita akan lebih tepat memahaminya dengan tidak langsung mengasosiasikannya dengan sebuah bangunan melainkan sebuah kondisi. Seperti yang juga ditulis Avianti Armand dalam buku RUMAH, bahasa Indonesia memiliki padanan yang mendekati dalam dua kata yaitu betah (at home) dan pulang (go home). Dua kata yang tidak langsung memiliki hubungan dengan bangunan melainkan kondisi batin. Sebenarnya meskipun tidak berhubungan langsung dengan sebuah bangunan, dua kata tadi menurut saya memiliki keterkaitan dengan tempat. Yaitu tempat di mana seseorang akan betah, ataupun tempat yang dituju oleh seseorang dalam aktivitasnya pulang. Akan kembali menyempit jika tempat itu langsung kita yakini sebagai sebuah bangunan bernama rumah, karena sebenarnya tempat tadi bisa di mana saja ataupun berbentuk apa saja. Kita bisa melihat berbagai kondisi ketika banyak orang yang merasa lebih betah di kantor daripada di rumah. Ataupun orang yang merasa lupa dengan aktivitas pulang kecuali pada waktu mudik lebaran. Jika dua kondisi tadi dikaitkan dengan kata “berhuni”, mungkin dapat memperkaya pemahaman kita. Setiap manusia beragama pasti paham alasan diciptakannya manusia di Bumi oleh Tuhannya, yaitu sebagai pengatur apa-apa yang ada di Bumi. Manusia diciptakan untuk menghuni Bumi dengan segala isinya. Menghuni dalam arti yang luas, seperti tulisan Avianti, bukanlah aktivitas pasif. Satu hal yang jelas adalah manusia diharapkan tidak hanya berhuni di dalam bangunan bernama rumah. Setiap manusia akan memiliki skala dan radius yang berbeda terkait huniannya. Dan biasanya skala dan radius ini akan memiliki hubungan dengan tingkat manfaat seseorang itu kepada manusia lain dan juga lingkungannya, ataupun Bumi itu sendiri.


Kembali kepada kasus klien-klien Andra Matin, bisa jadi mereka ini lah contoh manusia-manusia yang melakukan aktivitas berhuninya tidak hanya dalam skala rumah tinggal. Mereka memang tidak hidup sehari-hari di rumah tinggal tersebut, karena mereka hidup di skala dan radius yang mungkin lebih besar dari kebanyakan orang. Dan ketika mereka berkesempatan mewujudkan sebuah kondisi ideal dari sebuah rumah tinggal, menjadi hal yang lumrah untuk berusaha mewujudkan yang diidamkan oleh mata mereka, oleh hati mereka, oleh batin mereka. Yang bisa jadi memang tidak akan mereka kontaminasi dengan hal-hal keseharian mereka. Jika definisi ‘pulang’ bagi mereka adalah aktivitas sekian jam di rumah tinggal indah tersebut di hari Sabtu atau Minggu, dan itu merupakan sebuah kemewahan bagi mereka, tentu bukanlah hal yang tepat kalau kita menilai mereka tidak melakukan sebuah aktivitas berhuni yang baik.


Hal menarik lainnya adalah ketika mencermati makna rumah bagi seorang Andra Matin. Baginya rumah adalah tempat kita pulang, tempat rileks, tempat ngumpet. Semacam tempat hideaway. Di sini kita bisa melihat keterhubungan yang jelas sekali antara pandangan arsitek dengan kondisi batin klien. Bisa jadi dengan pandangan itulah akhirnya sang arsitek benar-benar dapat menciptakan tempat rileks, tempat ngumpet, dan tempat hideaway yang paling ideal bagi kliennya. Tempat yang secara hal kasat mata mungkin membuat kita meragukan keseharian mereka bisa fit di dalamnya, namun justru mungkin tempat itulah selama ini yang diidamkan dan dibutuhkan oleh mereka,….sebagai tempat untuk pulang.

author

Defry Agatha Ardianta

date

04/2016